Siswa Tolak Hormat Bendera, Kemendikbud Minta Pihak Sekolah Tegas
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
menyesalkan tindakan sejumlah siswa di SDN Tarakan, Kaltara yang menolak hormat
bendera Merah Putih. Para siswa itu juga menolak menyanyikan lagu Indonesia
Raya.
Menurut Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen)
Kemendikbud Hamid Muhammad, hal itu terjadi karena kurangnya ketegasan pihak
sekolah.
"Masalah ini seharusnya tidak terjadi bila sekolah
bertindak tegas. Menyanyikan lagu Indonesia Raya dan hormat bendera Merah Putih
ada aturannya yang jelas di dalam undang-undang. Siapa pun dia, asalkan warga
negara Indonesia wajib melaksanakan perintah undang-undang," kata Hamid.
Sebagai implementasi undang-undang, sekolah membuat peraturan
dan tata tertib. Salah satunya, siswa wajib ikut upacara bendera setiap hari
Senin.
"Nah semua peraturan dan tata tertib sekolah harus
ditaati oleh setiap warga sekolah, khususnya para siswa," ujarnya.
Tenang, Aliran Saksi-Saksi Yehuwa Tak Membangkang Negara,Dia menambahkan, jika ada siswa yang tidak menaati peraturan
sekolah, maka guru dan kepsek wajib menertibkannya.
"Kalau saat upacara ada siswa yang ogah menyanyikan
Indonesia Raya dan menolak hormat bendera Merah Putih dengan alasan apapun
tidak bisa ditolerir. Kepsek serta guru harus bertindak, nggak boleh ada siswa
yang tidak menaati tata tertib sekolah," pungkasnya.
Ini Aliran yang Melarang Murid SD Hormat
pada Bendera
Sikap orang tua melarang anaknya yang menimba di sekolah
dasar (SD) di Juata dan Tarakan,
Kalimantan Utara, melakukan penghormatan pada bendera tak lepas dari
kepercayaan yang mereka anut.
Selain melarang anaknya menghormat pada bendera, mereka
juga tak mengizinkan anak-anaknya menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya
saat upacara. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Tarakan pun menaruh perhatian serius pada
peristiwa itu.
Kepala Kesbangpol Tarakan Agus Sutanto mengatakan, orang tua
kelima murid SD itu memeluk aliran Saksi-Saksi Yehuwa. Aliran itu merupakan denominasi Kristen, Milenarian,
Restorasionis, yang dahulunya bernama Siswa-Siswa Alkitab.
“Aliran ini memang sudah ada secara internasional.
Untuk legal formalnya mereka katakan sudah terdaftar di Dirjen Kristen,” jelas
Agus sebagaimana dilansir Prokal, Jumat (27/10).
Namun, sambung Agus, aliran itu ditolak keras oleh pengurus
gereja diTarakan. Misalnya, Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi
Waligereja Indonesia (KWI), dan Badan Musyawarah Antar Gereja (BMAG). Mereka tidak menyetujui keberadaan aliran itu karena
dianggap menyimpang.
Dia menambahkan, orang tua kelima murid SD itu beribadah di
rumah. Mereka juga menggunakan Injil, tetapi berbeda dengan
doktrin gereja.
“Dari keyakinan yang mereka anut, mereka menganggap
penghormatan terhadap bendera negara adalah berhala yang dilarang dalam kitab
sucinya,” jelas Agus.
Sumber : jpnn.com