UKG 2015: Hati-hati dengan Grade "Tidak Layak Guru"
Beredar
informasi bahwa tindak lanjut hasil Ujian Kompetensi Guru (UKG) 2015 ini tidak
lagi akan sama seperti UKG tahun 2013 lalu. Seperti diketahui hasil UKG 2013
lalu secara nasional sangat rendah, yaitu rata-rata 4,25. Hanya saja hingga
saat ini tidak ada tindak lanjut dari pengumuman hasil UKG secara nasional itu
seperti yang digadang-gadangkan akan ada pembinaan bagi guru-guru yang nilainya
rendah, tunjangan sertifikasinya distop dan lain sebagainya. Nyatanya hanya
sampai di situ. Bahkan guru-guru pun tidak tahu berapa hasil UKG yang mereka
peroleh. Semua senyap seperti tidak ada kejadian apa-apa.
Nah,
tiba-tiba di tahun 2015 ini pemerintah rencananya akan kembali mengadakan UKG
untuk seluruh guru secara nasional. Dan sama seperti UKG tahun 2013 hasilnya
akan digunakan untuk pemetaan guru, target kelulusan adalah 70 dan sedikit
berbeda dengan tahun 2013 akan ada pembagian grade guru-guru berdasarkan hasil
yang dicapai, yaitu salah satunya akan ada
Grade 1-3, untuk guru yang dapat
grade ini dilabel "Tidak Layak Guru", yaitu mereka yang mendapat
nilai kurang dari 40.
Grade 4-7, yaitu yang
nilainya antara 40-70 akan diberi pembinaan pedagogik dan profeional,
Grade 8-10,yang dinyatakan lulus yaitu yang mendapat nilai 70 ke atas akan
dijadikan sebagai tutor sebaya bagi guru-guru yang mendapat grade 4-7.
Lebih jelasnya lihat pada gambar
Nah,
apa yang akan terjadi bagi mereka yang dapat label "Tidak Layak Guru"
ini?
Pertama,
guru-guru yang mendapat nilai rendah tersebut akan diberi pembinaan. Mereka
akan dilatih secara maksimal terutama kompetensi pedagogik dan kompetensi
profesionalnya. Bisa saja mereka ini dilarang dahulu untuk mengajar supaya
lebih fokus mengikuti pelatihan atau pendidikan. Jika lulus mereka akan kembali
diizinkan mengajar.
Kedua,
bagi mereka yang sudah diberi pelatihan/ pendidikan selama kurun waktu tertentu
tapi tidak juga lulus-lulus, maka bagi yang PNS akan dipindahtugaskan ke bidang
yang sesuai dengan mereka. Bisa menjadi Tenaga Kependidikan seperti TU,
pustakawan, laboran dan lain-lain. Bisa saja dipindahkan ke struktural untuk
menjadi staf di instansi atau dinas-dinas yang membutuhkan. Seperti Dinas
Pendidikan seperti UPT, Dinas Sosial, Pemda seperti desa atau kelurahan dan
lain sebagainya. Sedang bagi guru yang statusnya honor keputusan atas mereka
akan diserahkan ke pihak-pihak yang mengangkat mereka, seperti yayasan, sekolah
swasta, pemerintahan daerah, dan sebagainya, apakah diberhentikan atau dipindahtugaskan.
Ketiga,
diberi kesempatan untuk memilih pensiun dini terutama bagi PNS guru yang sudah
memenuhi persyaratan.
Sebenarnya
penulis setuju-setuju saja dengan program pemerintah untuk melakukan pemetaan
guru dan melakukan pengklasifikasian guru seperti yang direncanakan di atas dan
solusi-solusi yang ditawarkan. Hanya saja yang perlu dipertimbangkan apakah
cukup dengan tes itu lalu guru langsung dihakimi: Anda layak jadi guru dan Anda
tidak?
Pengalaman
penulis selama belasan tahun menjadi guru, banyak sekali penulis dapati mereka
(baca: guru) yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata di bidang yang
digelutinya, sering kagok dalam mentransfer ilmunya ke anak didik. Bahkan di
antara mereka ini ada yang karena merasa sudah pintar atau jago sering meremehkan
dan menyalahkan anak-anak bila hasil nilai mereka mengecewakan. Kadang jika
dihadapkan dengan anak-anak yang maaf agak lambat daya tangkapnya, mereka ini
sering malas-malasan.
Tipe-tipe
mereka ini cenderung lebih mengutamakan atau mengejar proyek di luar daripada
profesinya sebagai pengajar/guru. Sehingga mereka sering tidak masuk mengajar,
kaku dalam mendidik, dan sebagainya. Memang tidak semuanya seperti itu, tapi
rata-rata memang begitulah adanya.
Lalu,
ada guru yang memang kemampuannya di bawah rata-rata, apakah karena memang dari
dasarnya ya mungkin lulus kuliah hanya dengan IPK rata-rata, mengampu banyak
mata pelajaran karena kekurangan guru di sekolahnya sehingga tidak punya waktu
lagi mendalami materi-materi atau karena faktor usia ilmunya tidak lagi update
atau bahasa anak sekarang "kudet" alias kurang up date. Mereka ini
kadang lebih menjiwai profesi keguruan mereka. Mereka dengan mudah dapat
mengolah kemampuan siswa yang beragam. Mereka sabar dan telaten mengolah siswa
yang berkemampuan rendah untuk setidak-tidaknya mampu mengalami peningkatan
pemahaman.
Mereka
ini jujur kepada siswanya kalau memang belum menguasai, guru-guru seperti itu
akan katakan sejujurnya kepada anak-anak didik mereka dan mengajak bersama-sama
mencari pemecahan persoalan dari materi yang sulit/susah dimengerti tersebut
untuk dibahas kembali pada pertemuan selanjutnya. Untuk guru yang seperti ini
saya salut. Mereka tidak malu bertanya kepada kawan seprofesi, mereka mengakui
kelemahan mereka dan mereka mau terus belajar walau kadang sulit setengahnya
mati.
Penulis
pernah berinteraksi dengan guru seperti ini, beliau ini senior dan pamong
penulis sewaktu praktek mengajar waktu kuliah dahulu. Beliau ini bercerita
kalau beliau ini bila dihadapkan pada soal-soal tes sering lupa, bingung
sendiri. Jika tidak dibantu dengan buku pegangan beliau jujur mengaku kesulitan
menjawab soal-soal yang ada. Terutama untuk materi-materi sulit. Tapi, anehnya
para siswa senang belajar dengan beliau dan hasil ujian nasionalnya pun
memuaskan. Pernah beliau bercerita, "Saya kalo mengerjakan soal Ujian
Nasional atau soal olimpiade ini sering pusing sendiri... kadang hasilnya kalah
jauh dengan capaian hasil anak-anak yang saya bimbing! hehe.. tapi saya anggap
saja...i tu tandanya saya berhasil mendidik mereka menjadi lebih pintar dari
saya... hehee!" seloroh beliau.
Satu
lagi ada yang lucu ketika sibuk-sibuk sertifikasi penulis waktu itu masih honor
di sekolah beliau, penulislah yang menyusun portofolio beliau dan lulus.
Setelah itu untuk sertifikasi harus melewati Ujian Komptensi Awal (UKA) dulu.
Nah beliau ini bilang, "Untung zaman aku tak ada UKA, bisa tak lulus
aku," candanya sambil tertawa.
Walau
begitu, penulis akui penulis kadang terinspirasi dengan gaya beliau itu. Kalau
mengajar persiapan beliau ini luar biasa, mulai dari media pembelajaran yang
kadang beliau modif atau buat sendiri, soal-soal yang akan diberikan ke siswa
sudah terlebih dahulu beliau buat pembahasannya, kata beliau ini memudahkan
saya kalau menjelaskannya kembali nanti, dan lain sebagainya. Bahkan beliau ini
tidak malu bertanya kalau ada materi yang beliau sulit pahami dan akan beliau
catat rapi-rapi penjelasan tentang materi itu. Jarang guru yang seperti itu.
Bahkan
yang ada guru, kalau sampai ke materi sulit kadang dilompati atau ditinggal
begitu saja tidak diajarkan ke anak murid atau kadang dijadikan tugas semata
dan dilanjutkan ke materi berikutnya, entah karena malu bertanya atau malas
mencari tahu. Mengajar asal memenuhi kewajiban dan sebagainya. Nah, anggaplah
kemampuan mereka sama, tapi jelas guru yang seperti ini tidak bisa disamakan
dengan guru yang saya ceritakan di atas.
Nah,
Karenanya menurut penulis, penilaian seorang guru tidak bisa hanya dari hasil
tes ujian semata! Penilaian subjektif pun harus dipertimbangkan, bisa saja ada
guru nilainya rendah tapi caranya mengajar di kelas, pengelolaan kelasnya,
pendekatannya ke anak didik, dan lain sebagainya luar biasa! Lalu ada guru yang
pintar, hasil tesnya bagus tetapi cara mengajarnya tidak bagus, tidak disiplin,
tidak mendidik dan lain sebagainya.
Jangan
sampai kita men-judge sesorang "Tidak Layak jadi Guru" tapi ternyata
dialah guru yang sebenar guru!
Sumber : http://www.kompasiana.com