Persaingan Menjadi Guru Agama Islam Bakal Makin Ketat
Kementerian
Agama membuat regulasi baru, yakni sarjana non Tarbiyah (kependidikan)
diperbolehkan untuk menjadi guru agama.
Kemenag
beralasan upaya ini untuk menambal kekurangan guru agama di madrasah maupun
sekolah.
Dengan regulasi
ini, bisa dipastikan persaingan untuk menjadi guru agama Islam tahun depan
bakal semakin ketat.
Dirjen
Pendidikan Islam (Pedis) Kemenag Kamaruddin Amin mengatakan kebijakan sarjana
non Tarbiyah boleh jadi guru agama itu bukan dilepas begitu saja.
Dia mengatakan
sarjana non Tarbiyah yang boleh menjadi guru agama itu adalah sarjana lulusan
syariah, dakwah, ushuluddin, dan adab.
Dia menuturkan
sarjana lulusan syariah, bisa menjadi guru fiqih. Sedangkan sarjana ushuluddin
bisa mengisi jabatan sebagai guru Alquran Hadist dan sarjana adab menjadi guru
sejarah kebudayaan Islam.
’’Untuk bisa
menjadi guru agama, lulusan non Tarbiyah itu harus mengikuti pendidikan profesi
guru (PPG, red),’’ katanya.
Kamaruddin
mengatakan saat ini kebutuhan guru agama cukup tinggi. Untuk di sekolah saja,
saat ini kekurangan 20 ribu guru agama. Padahal pelajaran agama di sekolah
hanya satu mata pelajaran.
Kebutuhan lain
adalah guru agama di madrasah. Kebutuhan guru agama di madrasah cukup komplek,
karena terdiri dari beberapa mata pelajaran. Seperti Fiqih, Akidah-Akhlak,
Alquran Hadist, dan Sejarah Kebudayaan Islam.
Menurut guru
besar UIN Alauddin Makassar itu, tahun depan baru dibuka program PPG. Dengan
asumsi pelaksanaan PPG selama satu tahun, maka guru-guru agama dari sarjana non
Tarbiyah baru efektif bisa bekerja pada 2019.
Pengamat
pendidikan sekaligus dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jejen Musfah
berharap Kemenag tidak melepas begitu saja para sarjana non tarbiyah untuk
menjadi guru agama.
’’Kalau caranya
seperti itu, bubarkan saja fakultas tarbiyah. Seperti itu kira-kira guyonan di
kalangan dosen-dosen tarbiyah,’’ jelasnya.
Menurut Jejen
profesi guru itu bukan sebuah profesi sembarang. Harus diisi oleh orang-orang
yang memiliki bakat dan minat menjadi guru.
Dia khawatir
sarjana non Tarbiyah itu tidak memiliki minat menjadi guru. Buktinya sejak awal
mereka tidak kuliah di Tarbiyah.
Namun karena
kesulitan mendapatkan pekerjaan, mereka akhirnya banting setir menjadi guru
agama di sekolah maupun madrasah.
Sumber :
jpnn.com